Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan
memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara
dan bangsa, karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan
mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Mulyasa, masyarakat
Indonesia dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah pendidikan yang
berat, terutama berkaitan dengan kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan.
Begitu juga dengan sejumlah persoalan lain yang
dihadapi pendidikan menimbulkan pertanyaan bagi berbagai pihak, baik dikalangan
mayarakat umum maupun dikalangan ahli pendidikan dan guru”apa yang salah dengan
pendidikan nasional sehingga belum berhasil mengembangkan manusia Indonesia
seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional”.
Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945
mengamanatkan agar pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
Ketentuan ini berkaitan dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa serta
meningkatkan kesejahteraan umum, dan dapat diperolehnya pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Enam puluh dua tahun telah berlalu,
sejak pemerintah memiliki kesempatan untuk mengatur pendidikan nasional bagi
seluruh tanah air Indonesia, tetapi manusia Indonesia yang diharapkan lahir dan
mampu mendorong tegak serta jayanya Negara Kesatuan Republik Indonesia belum
berhasil diwujudkan, bahkan yang terjadi justru sebaliknya adalah munculnya
berbagai ekses dan gejala disintegrasi bangsa dengan reformasi yang kebablasan.
Ketertinggalan kita sebagai bangsa Indonesia
dalam menyiapkan mutu lulusan pendidikan pada berbagai tingkatan, selain
disebabkan oleh belum adanya pembenahan total sistem pendidikan dan persekolahan
kita selama ini, juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari adanya pengaruh
warisan mental system pendidikan yang telah dilaksanakan pada masa kolonial
penjajahan di negeri ini.
Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa
kita tidak dapat bangkit untuk membenahi sistem pendidikan persekolahan kita
hari ini. Bagi kita, ada sejumlah agenda pendidikan yang perlu dibenahi dalam
usaha untuk memberikan pendidikan bagi mahasiswa khususnya melalui program PGMI
ini, antara lain, yaitu:
1. Lamanya Waktu Pendidikan, meliputi kuota
semester yang memiliki durasi yang cukup banyak pada setiap semester, waktu
tempuh pendidikan pada setiap jenjang yang relatif lama, kurikulum yang banyak,
pelayanan pendidikan yang bertele-tele dan memakan waktu yang panjang,
manajemen yang tidak customer focused, birokrasi yang tumpang tindih,
dan sistem pembiayaan yang kurang memadai bagi peningkatan kualitas pelayanan
pendidikan kepada peserta didik (mahasiswa).
2. Mendesain pendidikan program PGMI agar mampu
memberikan karakteristik ideal yang menjanjikan, dengan upaya membekali
mahasiswa program PGMI dengan sejumlah kompetensi melalui tawaran kurikulum dan
kemampuan berkompetisi, selain membekali content teoretis juga
profesional empiris sesuai dengan kebutuhan.
Secara nasional, jika dilihat pendidikan di
tanah air telah memberikan bukti nyata akan peran sertanya dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa. Berbarengan dengan itu, tuntutan reformasi telah merambah ke
berbagai tatanan kehidupan termasuk di dalamnya pendidikan. Selain dari itu,
pendidikan telah melahirkan sejumlah besar lulusan, meskipun tidak sebanding
dengan inovasi yang dilakukan dalam lembaga pendidikan itu sendiri. Akibatnya,
pendidikan kita dihadapkan pada krisis SDM khususnya guru, baik dilihat dari
jenjang pendidikan yang dimiliki, maupun bila dilihat dari sisi kompetensinya.
Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk
bagaimana penghapusan status penyelenggaraan pendidikan melalui jalur D2 dan D3
yang diganti menjadi program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiah (PGMI).
Lahirnya PGMI juga berarti pelunya didesain format penyelenggaraan PGMI,
sebagai penguatan pendidikan yang diperuntukkan bagi Pendidikan calon guru
Madrasah Ibtidaiyah, termasuk dalam hal ini desain kurikulumnya dalam konteks
kurikuum nasional. Kebijakan pendidikan yang dibarengi dengan perubahan
kurikulum telah menjadi landasan epistemologi keilmuan yang dikembangkan oleh
PTAI se-Indonesia akan sedikit berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan
selama ini, hal ini disebabkan karena kurikulum PGMI seharusnya
mengintegrasikan kurikulum nasional dan kurikulum PGMI itu sendiri dengan
tawaran sejumlah keunggulan yang dikembangkan.
Itulah sebabnya, desain kurikulum haruslah
berangkat dari Visi, misi perguruan tinggi, pengembangan
fakultas/jurusan/prodi, aspek potensi peserta
didik, aspek pengembangan sikap mental, aspek pengembangan potensi dasar
peserta didik, aspek tagihan belajar, aspek kebutuhan dan lapangan kerja. Apabila
kita melihat realitas kondisi kurikulum pendidikan kita hari ini, maka
mengindikasikan lemahnya pengembangan aspek-aspek utamanya yang mengarah pada
pemenuhan kebutuhan stakeholder.
Dari sisi atau aspek kepemimpinan, perlu
dipahami dan dikritisi komponen-komponen yang perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan kurikulum, dalam arti perlunya menggali secara terus-menerus
pertanyaan-pertanyaan mendasar serta berusaha mencari alternatif jawabannya
mengenai hal-hal yang terkandung dalam masing-masing komponen dalam
pengembangan kurikulum.[1]
Dalam konteks Program PGMI, maka kurikulum yang
dikembangkan adalah kurikulum yang mengintegrasikan antara Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dari
integrasi dua jenis kurikulum ini, maka akan terbuka peluang bagi perguruan
tinggi untuk memberikan penekanan yang kuat pada pengembangan kompetensi
peserta didik melalui kompetensi tamatan/ lulusan, kompetensi lintas kurikulum,
kompetensi, rumpun (hasil belajar dan kompetensi PTAI), dan kompetensi mata
pelajaran yang dikembangkan pada Program PGMI.
Wina Sanjaya
mengemukakan beberapa unsur yang terkandung dalam kompetensi yaitu: (a)
pengetahuan (knowledge) (b) pemahaman (understanding), (c)
ketrampilan (skills), (d) nilai (value), (e) sikap (attitude),
(f) minat (interest). [2]
Penerapan unsur-unsur tersebut dalam PAI bisa dijelaskan sebagai berikut:
a. Pengetahuan (knowledge) yaitu
pengetahuan seseorang untuk melakukan sesuatu. Misalnya siswa akan dapat
melakukan shalat jama’ dan qas}ar jika ia memiliki pengetahuan yang memadai tentang tata cara shalat
jama’ dan qas}ar.
b. Pemahaman (understanding) yaitu
kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu. Misalnya siswa
hanya mungkin bisa memecahkan problem shalat bagi musafir manakala ia memahami
tata cara s}ala>t
safar dan semua hal yang terkait dengannya .
c. Ketrampilan (skill) yakni kecakapan
yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan. Misalnya
siswa mampu melakukan shalat jama’ ketika ia dalam perjalanan yang
memenuhi syarat untuk melakukan jama’.
d. Nilai (value) yaitu standar perilaku
yang telah diyakini dan secara psikologis telah menjadi bagian dari dirinya
sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya. Misalnya standar perilaku
siswa dalam hal ketaatan melakukan shalat meski dalam perjalanan yang jauh dan
melelahkan, ia tetap merasa bertanggung jawab untuk melakukan shalat dengan
baik meski harus dengan cara jama' atau qas}ar.
e. Sikap (attitude) yaitu perasaan atau
reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar, misalnya perasaan
senang, bahagia, puas ketika seseorang telah dapat melakukan kewajiban shalat
meski dalam keadaan yang sulit yaitu ketika sedang bepergian.
f. Minat (interest) yaitu kecenderungan
seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan. Misalnya minat siswa
untuk melakukan shalat ketika telah masuk waktu shalat meski saat itu ia
ditengah perjalanan.
Dari uraian di
atas dapat dipahami bahwa kompetensi tidaklah hanya ada pada tataran
pengetahuan, teori atau konsep tentang sesuatu, melainkan sebuah bangunan yang
utuh meliputi pengetahuan, ketrampilan, nilai, sikap dan minat seseorang yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam menghadapi suatu
persoalan. Dengan demikian, kompetensi dapat dikatakan sebagai seperangkat
pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak yang dilakukan secara konsisten dan terus
menerus sehingga dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten dalam
bidang tertentu.[3]
Kompetensi yang
dimaksudkan oleh kurikulum 2004 berupa pengetahuan, ketrampilan, sikap dan
nilai-nilai yang diharapkan terwujud pada diri siswa dalam kebiasaan bertindak.[4]
Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap, pengetahuan dan ketrampilan.[5]
Kompetensi dapat dikenali melalui sejumlah indikator yang dapat diukur dan
diamati. Pada jenis pendidikan umum, kompetensi dapat dicapai melalui
pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran
secara kontekstual. Sementara pada jenis pendidikan kejuruan, kompetensi yang
berkaitan dengan tugas-tugas lulusan ditempat kerja, ditetapkan berdasar
standar kompetensi yang berlaku di dunia kerja sesuai dengan bidang
keahliannya.
[1] Menurut Muhaimin (2003) ada beberapa komponen dalam
pengembangan kurikulum, yaitu :
a. Komponen dasar; yang meliputi dasar-dasar filosofis, sosiologis,
kultural, psikologis, orientasi, tujuan pendidikan, prinsip-prinip kurikulum
yang dianut dan fungsi kurikulum.
b. Komponen pendidik; yang meliputi kode etik pendidik/dosen,
kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, seperti pendidikan prajabnas, pre
house training, in service training, on house training, penataran, dan
sebagainya
c. Komponen materi; meliputi jenis, ruanglingkup materi, urutan
sistematika atau sekuensinya dan sumber acuannya
d. Komponen penjenjangan; meliputi graded atau non-graded system, tahun
penjenjangan, terminasi, sistem SKS atau paket, dan penjurusan
e. Komponen sistem penyampaian
(delivery system);
meliputi strategi dan pendekatannya, metode pengajarannya, pengaturan kelas,
dan pemanfaatan media pendidikan
f. Sistem evaluasi; meliputi konsep dasar tentang kriteria keberhasilan,
system penilaian, macam evaluasinya, masalah tes atau bentuknya,
inspeksi/supervisi/pengawasan.
g. Komponen peserta didik
(input); meliputi persyaratan
masukan (rekrutmen), kualitas peserta didik yang diharapkan, kuantitas peserta
didik, latar belakang peserta didik: pendidikan, sosial, budaya, agama, pengalaman
hidup, potensi, minat, bakat, dan inteligensinya.
h. Komponen proses pelaksanaan; meliputi pola belajar mengajarnya: presentasi,
independent study, interaksi (Kemp, 1977); expository approach, inquiry
aproach (Gerlach & Elly, 1971), intensitas dan frekuensinya, interaksi
pendidik15 peserta didik, dan /atau antar peserta didik di dalam dan di luar
kegiatan tatap muka, pengelolaan kelas dan penciptaan suasana di dalam kelas.
i. Komponen keluaran output (tindak lanjut); meliputi kualitas output
atau keluaran yang berhasil, organisasi alumni sebagai media pendidikan
lanjut antara pendidik dan peserta didik, bimbingan lanjut melalui buletin,
reuni, dan sebagainya.
j. Komponen organisasi
kurikulum; meliputi sentralisasi
atau desentralisasi, pola organisasi kurikulum, real curriculum, hidden
curriculum, open-ended curriculum, kegiatan intra/ekstra kurikuler.
k. Komponen bimbingan dan
penyuluhan; meliputi strategi
pedekatan (tradisional, developmental, atau neo-tradisional), pengorganisasian,
dan proses layanan.
l. Administasi pendidikan; meliputi manajemen kelembagaan, ketenagaan, hubungan
antara orang tua dan masyarakat
m. Komponen sarana dan
prasarana; meliputi buku teks,
perpustakaan, laboratorium/studio, perlengkapan kelas, media pendidikan atau
pengajaran dan gedung pendidikan
n. Komponen usaha pengembangan; meliputi adanya evaluasi dan inovasi
kurikulum,penelitian, perencanaan pengembangan jangka pendek, menengah, dan
panjang, seminar, diskusi, simposium, lokakarya, penerbitan, kerjasama dan
hubungan luar.
o. Komponen biaya pendidikan; meliputi sumber biaya dan alokasinya, perencanaan
dan pembiayaan pendidikan, sistem pertanggungjawaban keuangan dan pengawasan.
p.
Komponen
lingkungan;meliputi suasana
kelas, peguruan tinggi, di sekitar perguruan tinggi, suasana di daerah stempat
(lokal), regional, nasional dan global.
[2] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Prenada media, 2005), 6.
[3]Depdiknas, Kurikulum
Berbasis Kompetensi (Jakarta:
Puskur. Balitbang Depdiknas, 2002), 1.
[4]Departemen Agama RI, Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum 2004 Untuk Madrasah Aliyah (Jakarta: Dirjen
Bagais, 2004), 2.
[5]Standar Kompetensi
Lulusan PP No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang
merupakan pengaturan lebih lanjut dari Bab IX pasal 35 UU SISDIKNAS No. 20
Tahun 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kirim komentar mengenai artikel yang saya tulis